Gunung Salak yang ada di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, boleh dikatakan menjadi “kuburan” pesawat terbang karena
sudah sering kecelakaan pesawat terjadi di gunung ini, seperti halnya tragedi sukhoi superjet 100 beberapa hari yang lalu.
Bahkan banyak orang yang mengaitkan gunung ini dengan
hal-hal mistis, diantaranya karena selimut tebal kabut di gunung ini yang bagi
sebagian orang dianggap misterius. Namun, secara logika, kabut tebal di gunung
ini memang secara tidak langsung akan mengganggu perjalanan pesawat terbang
seperti terjadi pada pesawat buatan Rusia, Sukhoi Superjet (SJJ) 100 yang
diduga menabrak tebing gunung ini.
Bagi pegiat alam bebas, karakteristik gunung tersebut
terbilang unik dibandingkan gunung-gunung lain di Pulau Jawa. Karakteristiknya
menyerupai gunung di Bukit Barisan yang membelah Sumatera.
Gunung Salak juga menelan banyak korban dari kalangan
pendaki gunung. Medannya yang ekstrem ditambah hutan yang lebat membuat orang
yang kurang memahami alam bebas, tersesat.
Mengutip Wikipedia, hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan
pegunungan bawah (submontane forest) dan hutan pegunungan atas (montane
forest).
Bagian bawah kawasan hutan, semula adalah hutan produksi
kelolaan Perum Perhutani.
Di antara jenis pohon yang ditanam di sini adalah tusam
(Pinus merkusii), rasamala (Altingia excelsa).
Pada beberapa lokasi, terutama arah Cidahu, Sukabumi,
ditemukan pula jenis tumbuhan langka bernama Rafflesia rochussenii yang
menyebar terbatas sampai Gunung Gede dan Gunung Pangrango di dekatnya.
Bukan Jalur Penerbangan
Lalu, mengapa Gunung Salak disebut sebagai “kuburan” pesawat
terbang?
Dari catatan sejumlah media online, di gunung yang masuk ke
wilayah Taman Nasional Gunung Salak Halimun ini memang kerap terjadi rangkaian
kecelakaan pesawat.
Pada 15 April 2004, pesawat Paralayang Red Baron GT 500
milik Lido Aero Sport, jatuh di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten
Bogor. Tiga orang tewas akibat kecelakaan ini.
20 Juni 2004, pesawat Cessna 185 Skywagon, jatuh di Danau
Lido, Cijeruk, Bogor. Lima orang tewas. Kemudian pada Juni 2008, pesawat Casa
212 TNI AU jatuh di Gunung Salak di ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut.
Kecelakaan ini menewaskan 18 orang.
30 April 2009, tiga orang tewas setelah kecelakaan terjadi
pada pesawat latih Donner milik Pusat Pelatihan Penerbangan Curug jatuh di
Kampung Cibunar, Desa Tenjo, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor.
Selanjutnya yang terakhir ini, pesawat SSJ-100 buatan Rusia
berpenumpang 46 orang jatuh pada 9 Mei 2012.
Sejumlah kalangan keheranan mengapa Sukhoi yang malang ini
turun ke ketinggian yang justru di bawah tinggi gunung.
Staf Ahli Menristek Bidang Pertahanan Keamanan Hari Purwanto
bahkan menyatakan penerbangan melalui kawasan Gunung Salak seharusnya tidak
dilakukan pada ketinggian 6.000 kaki karena tinggi gunung itu sendiri sekitar
2.200 meter. Belum lagi awan tebal selalu meliputi pegunungan itu.
“Biasanya penerbangan dari Halim menuju Pelabuhan Ratu di
ketinggian 12.000 kaki dan standar minimum 8.000 kaki, tapi Sukhoi ini terbang
dari ketinggian 10.000 kaki, mengapa turun ke 6.000 kaki,” kata Hari Purwanto
di Makassar, Kamis.
Pesawat Sukhoi Super Jet 100 buatan Rusia yang sempat hilang
kontak saat Joy Flight dari Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu diperkirakan
menabrak pinggir tebing Gunung Salak. 45 orang yang menumpangi pesawat ini
diperkirakan tewas.
Hari menyebutan tiga faktor yang mungkin menyebabkan sebuah
pesawat jatuh di Gunung Salah. Ketiganya adalah faktor cuaca, faktor kesalahan
manusia, dan faktor kelaikan pesawat.
Ia mengingatkan bahwa jalur penerbangan Bandara Halim
Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu via Gunung Salak, bukan jalur penerbangan. Pun
bukan area aman untuk penerbangan, apalagi bagi pilot yang tidak terlalu
mengerti medan di sana.
Pesawat Sukhoi yang telah dipesan penerbangan swasta
Indonesia untuk penerbangan komersil itu diakuinya sudah diuji di sejumlah
negara lain sebelum diuji di Indonesia, seperti Myanmar atau negara yang
pasarnya terbuka bagi pesawat di luar Boeing, Airbus dan lainnya.
Hari mengungkapkan, di masa lalu, semua pesawat yang akan
digunakan di Indonesia harus melalui kajian (review) teknologi dari BPPT. Namun
sejak satu dekade ini review itu tidak dilakukan lagi.
Asal : http://duniabaca.com/misteri-gunung-salak-si-kuburan-pesawat.html